"Alibi"
karya Nada Salsabila
14 Juni 1889, Sekolah “Serviam” pukul 10.00
Hari ini adalah hari terakhir tahun ajaran. Anak-anak bersorak gembira
karena mereka akan kembali bertemu dengan sanak keluarga.Terkecuali Rachel.
Dengan tatapan iri, dengki, kesal, marah dan sedih ia menatap teman-temannya
yang dijemput oleh orangtua mereka. Salah seorang teman dekatnya, mendatangi
Rachel.
“Belum pulang?” tanya Azzura.
“Belum. Kau sendiri, kok masih disini?” tanya Rachel, memandang berkeliling.
“Orangtuaku belum datang. Sepertinya terjebak macet. Ah! Itu dia!” serunya
melihat kendaraan keluarganya memasuki gerbang utama sekolah mereka.
Azzura langsung berlari menyongsong orangtuanya. Sedangkan orangtuanya hanya
memberikan pelukan hangat untuknya.
Setelah melepas rindu kepada orangtuanya, Azzura kembali mendatangi Rachel.
“Oh ya, Rachel. Pulang bersama kami saja. Kau sendirian kan?” tanya Azzura.
“Tak apa, aku pulang sendiri saja. Sudah biasa,” balas Rachel, tersenyum.
“Baiklah. Hati-hati ya! Jangan lupa kirim SMS!” seru Azzura, mendatangi
orangtuanya dan menaiki mobil.
“Ya!” seru Rachel, melambaikan tangannya.
“Pulang denganku saja yuk!” sahut seseorang, menepuk bahu Rachel pelan.
“Ah! Na, kau membuatku kaget!” balas Rachel, melihat kebelakangnya.
“Hahaha... Maaf, maaf. Pulang bareng yuk! Kebetulan aku tidak dijemput,”
ujar Nathael, tersenyum.
“Hm.. Baiklah,” jawabnya. Mereka berdua pun keluar menuju stasiun kereta api
kota Rythayle.
Stasiun Kereta Api kota Alyntas, pukul 13.30.
“Ah! Ayah, Ibu!” seru Nathael, melihat orangtuanya yg ternyata menjemputnya.
Dari kejauhan, Rachel melihat mereka dengan tatapan benci sekaligus sedih.
Tak lama, Nathael mendatangi Rachel.
“Ah! Maaf, kau jadi sendirian deh pulangnya. Mau ikut bersama kami?” tanya
Nathael.
“Tidak. Tak apa. Aku sendiri saja,” jawabnya.
“Hm.. yasudah. Hati-hati ya. Kalau aku SMS, balas yaa!” teriak Nathael,
meninggalkan Rachel dan hanya dijawab oleh anggukan singkat Rachel.
Akhirnya, Rachel mulai keluar dari stasiun dan berjalan kerumahnya, karena
memang rumahnya tidak terlalu jauh dari stasiun tersebut.
“Korose,” gumamnya, berjalan pulang kerumah.
15 Juni 1889. Rumah Nathael, pukul 01.00.
Sebuah bayangan terlihat sedang memasuki sebuah lorong panjang di lantai 2.
Sampailah ia di kamar tidur utama yaitu tempat Ayah dan Ibu Nathael tidur.
Dia membuka perlahan pintu kamar tersebut agar penghuni didalam kamar tidak
terbangun. Sesampainya di dalam, dengan perlahan dia perhatikan 2 sosok manusia
yg tengah terlelap itu. Ada sedikit perasaan sedih saat ia menatap 2 sosok
tersebut. Tapi, itu hanya sebentar. Tak lama, ia kemudian mengambil sebuah
botol yg berisi cairan dan ditumpahkannya cairan tersebut ke saputangannya.
Kemudian, dia mendekatkan saputangannya ke hidung Ibu Nathael agar ia dapat
menghirup aroma dari cairan tersebut dan akhirnya Ibu Nathael pingsan.
Dia beralih ke Ayah Nathael. Dilakukannya pula apa yg telah ia lakukan
kepada Ibu Nathael. Setelah itu, dia mengambil pisau yg telah ia bawa dan mulai
menyayati pergelangan tangan Ayah Nathael. Eralih dari pergelangan tangan, dia
mulai menyayati pula leher Ayah Nathael dan terakhir menusuk tepat di jantung
ayah Nathael. Dirasakannya Ayah Nathael sudah tidak bernafas dan dia kembali
beralih ke Ibu Nathael. Dilakukannya pula hal itu kepada Ibu Nathael. Akhirnya,
mereka berdua tewas dengan bergelimangan darah.
Rumah Nathael, pukul 07.00.
Nathael berjalan menuju ke kamar Ayah dan Ibunya. Sesampainya di depan pintu
kamar, diketuknya perlahan pintu tersebut.
“Ayah, Ibu,” panggilnya dari luar. Merasa tak ada jawaban, ia ketuk lagi
pintu dengan suara yg lebih keras.
“Ayah, Ibu. Sarapan sudah siap,” ujarnya lebih keras. Ia mulai bingung saat
tidak mendengar apapun dari dalam kamar orangtuanya. Dibukanya dengan perlahan
pintu kamar tersebut dan yg pertama kali ia lihat adalah kedua orangtuanya yg telah
bermandikan darah di tempat tidur dengan keadaan yang cukup mengenaskan. Dia
mulai berlinang airmata. Dengan terhuyung, dia mulai berlari ke lantai 1 untuk
menghubungi ambulans dan polisi. Tak lama kemudian, ambulans dan polisi datang.
Rumah Nathael, pukul 10.00.
“Kami turut berduka, Na,” ujar Azzura, menggenggam lembut tangan Nathael.
“Ya, tak apa. Terima kasih,” Nathael tersenyum sendu.
“Oh ya. Bagaimana kalau kita minta batuan detektif untuk mencari siapa
pembunuh orangtuamu?” usul Rachel.
“Saran yg bagus Rachel! Ayo, Na,” ujar Azzura agak bersemangat.
“Ya,” jawab Nathael singkat.
Kantor Detektif Seth Lenneous, pukul 11.00.
“Ada yg bisa saya bantu?” tanya detektif Seth.
“Orangtua saya meninggal. Tetapi, terlalu terlihat bahwa itu sebuah
pembunuhan,” jawab Nathael, sedikit lemah.
“Hm, baiklah. Derilian, ayo pergi! Ada kasus baru!” teriaknya kepada
seseorang.
“Ok, ok,” sahut seorang perempuan dari arah dapur.
Rumah Nathael, pukul 12.00.
“Ini tempatnya,” Nathael membimbing mereka ke tempat terbunuhnya
orangtuanya.
“Baiklah, biarkan kami bekerja. Kalian di lantai bawah saja,” sahut detektif
Seth.
Setelah mereka pergi, Seth dan Derilian mulai mencari petunjuk untuk
memecahkan siapa pelakunya.
“Seth, aku temukan ini,” ujar Derillian, menunjukkan saputangan yg telah
dibuang ditempat sampah.
“Hm.. Ada sedikit bekas basah disini. Biar kita bawa dahulu,” ujarnya,
memasukan saputangan tersebut ke sebuah kantong plastik.
“Ok,”
Rumah Nathael, Lantai 1 pukul 12.30.
“Kami menemukan 1 barang bukti. Selagi kami menyelidikinya, harap tunggu
dengan sabar. Jika hasilnya sudah keluar akan kami beritahu,” ujar detektif
Seth.
“Kami juga turut berduka. Semoga kami dapat secepatnya menangkap
pembunuhnya,” ujar Derilian.
“Ya. Tolong segera tangkap pembunuh orangtua teman saya,” sahut Rachel.
“Ya, pasti. Baiklah, kami permisi,” ujar detektif Seth, memohon diri bersama
Derilian. Rachel dan Azzura mengantarkan sampai pintu depan. Sedangkan Nathael
hanya duduk dengan pikiran kosong.
Rumah Azzura, ruang keluarga, pukul 09.00.
“Wah, kasihan juga ya temanmu itu,” sahut Ibu Azzura.
“Iya. Dia tidak ada sanak keluarga yg lain lagi, bu,” jawab Azzura.
“Hm.. berarti dia sekrang ini dirumahnya sendirian?” tanya Ayahnya.
“Iya. Tapi, masih ada beberapa pelayannya kok,” jawab Azzura.
“Yasudah. Sana tidur, sudah malam,” ujar Ibunya.
“Iyaa,” jawabnya, berlalu ke kamarnya sendiri.
Rumah Azzura, pukul 02.00
Sesosok tubuh berusaha untuk memasuki sebuah kamar. Kamar yg berada
dihadapannya saat ini terkunci. Akhirnya, setelah beberapa saat pintu itu dapat
dibuka. Terlihatlah orangtua Azzura sedang tertidur lelap. Dia mendatangi ayah
Azzura terlebih dahulu dan menutup mulutnya menggunakan saputangan yg sudah dia
bawa. Setelahnya, dia mengeluarkan pisau yg telah dibawanya dan ditusukkannya
kearah jantung. Ia juga melakukan hal yg sama kepada ibu Azzura. Setelah yakin
kedua orangtua Azzura telah meninggal, dia mengambil saputangannya dan
meninggalkan ruangan tersebut.
16 Juni 1889. Rumah Azzura, pukul 08.00
“Ibu, ayah,” teriak Azzura dari luar kamar orangtuanya sambil sesekali
mengetuk pintu.
Merasa tak ada jawaban, dia masuk ke kamar orangtuanya tersebut dan
mendapati orangtuanya sudah terbujur kaku dengan berlumur darah. Langsung saja
dia pergi ke arah ruang keluarga dan menghubungi ambulans. Mengetahui
orangtuanya sudah tidak bisa diselamatkan lagi, dia menghubungi Raachel dan
Nathael. Mendengar kabar itu, mereka berdua langsung pergi ke rumah Azzura.
“Aku tidak menyangka ini akan terjadi padamu juga. Aku turut berduka,” ujar
Nathael, sesampainya di rumah Azzura.
“Ya, terima kasih,” sahut Azzura lemah.
“Kau sudah lapor polisi? Lebih baik hubungi detektif Seth saja terlebih
dahulu,” ujar Rachel.
“Ya,” jawabnya dan mengeluarkan handphone-nya untuk menghubungi detektif
Seth.
Tak lama kemudian, detektif Seth dan Derilian datang dan langsung memeriksa
tempat kejadiannya dan menemukan sebuah anting yg terjatuh dibawah tempat
tidur. Mereka pamit dan lagsung memeriksa lebih lanjut di kantor detektif
mereka.