Selasa, 29 Mei 2012

Cerpen Seni Budaya IX-5


"Alibi"
karya Nada Salsabila

14 Juni 1889, Sekolah “Serviam” pukul 10.00
Hari ini adalah hari terakhir tahun ajaran. Anak-anak bersorak gembira karena mereka akan kembali bertemu dengan sanak keluarga.Terkecuali Rachel. Dengan tatapan iri, dengki, kesal, marah dan sedih ia menatap teman-temannya yang dijemput oleh orangtua mereka. Salah seorang teman dekatnya, mendatangi Rachel.
“Belum pulang?” tanya Azzura.
“Belum. Kau sendiri, kok masih disini?” tanya Rachel, memandang berkeliling.
“Orangtuaku belum datang. Sepertinya terjebak macet. Ah! Itu dia!” serunya melihat kendaraan keluarganya memasuki gerbang utama sekolah mereka.
Azzura langsung berlari menyongsong orangtuanya. Sedangkan orangtuanya hanya memberikan pelukan hangat untuknya.
Setelah melepas rindu kepada orangtuanya, Azzura kembali mendatangi Rachel. “Oh ya, Rachel. Pulang bersama kami saja. Kau sendirian kan?” tanya Azzura.
“Tak apa, aku pulang sendiri saja. Sudah biasa,” balas Rachel, tersenyum.
“Baiklah. Hati-hati ya! Jangan lupa kirim SMS!” seru Azzura, mendatangi orangtuanya dan menaiki mobil.
“Ya!” seru Rachel, melambaikan tangannya.
“Pulang denganku saja yuk!” sahut seseorang, menepuk bahu Rachel pelan.
“Ah! Na, kau membuatku kaget!” balas Rachel, melihat kebelakangnya.
“Hahaha... Maaf, maaf. Pulang bareng yuk! Kebetulan aku tidak dijemput,” ujar Nathael, tersenyum.
“Hm.. Baiklah,” jawabnya. Mereka berdua pun keluar menuju stasiun kereta api kota Rythayle.

Stasiun Kereta Api kota Alyntas,  pukul 13.30.
“Ah! Ayah, Ibu!” seru Nathael, melihat orangtuanya yg ternyata menjemputnya.
Dari kejauhan, Rachel melihat mereka dengan tatapan benci sekaligus sedih. Tak lama, Nathael mendatangi Rachel.
“Ah! Maaf, kau jadi sendirian deh pulangnya. Mau ikut bersama kami?” tanya Nathael.
“Tidak. Tak apa. Aku sendiri saja,” jawabnya.
“Hm.. yasudah. Hati-hati ya. Kalau aku SMS, balas yaa!” teriak Nathael, meninggalkan Rachel dan hanya dijawab oleh anggukan singkat Rachel.
Akhirnya, Rachel mulai keluar dari stasiun dan berjalan kerumahnya, karena memang rumahnya tidak terlalu jauh dari stasiun tersebut.
Korose,” gumamnya, berjalan pulang kerumah.

15 Juni 1889. Rumah Nathael, pukul 01.00.
Sebuah bayangan terlihat sedang memasuki sebuah lorong panjang di lantai 2. Sampailah ia di kamar tidur utama yaitu tempat Ayah dan Ibu Nathael tidur.
Dia membuka perlahan pintu kamar tersebut agar penghuni didalam kamar tidak terbangun. Sesampainya di dalam, dengan perlahan dia perhatikan 2 sosok manusia yg tengah terlelap itu. Ada sedikit perasaan sedih saat ia menatap 2 sosok tersebut. Tapi, itu hanya sebentar. Tak lama, ia kemudian mengambil sebuah botol yg berisi cairan dan ditumpahkannya cairan tersebut ke saputangannya. Kemudian, dia mendekatkan saputangannya ke hidung Ibu Nathael agar ia dapat menghirup aroma dari cairan tersebut dan akhirnya Ibu Nathael pingsan.
Dia beralih ke Ayah Nathael. Dilakukannya pula apa yg telah ia lakukan kepada Ibu Nathael. Setelah itu, dia mengambil pisau yg telah ia bawa dan mulai menyayati pergelangan tangan Ayah Nathael. Eralih dari pergelangan tangan, dia mulai menyayati pula leher Ayah Nathael dan terakhir menusuk tepat di jantung ayah Nathael. Dirasakannya Ayah Nathael sudah tidak bernafas dan dia kembali beralih ke Ibu Nathael. Dilakukannya pula hal itu kepada Ibu Nathael. Akhirnya, mereka berdua tewas dengan bergelimangan darah.

Rumah Nathael, pukul 07.00.
Nathael berjalan menuju ke kamar Ayah dan Ibunya. Sesampainya di depan pintu kamar, diketuknya perlahan pintu tersebut.
“Ayah, Ibu,” panggilnya dari luar. Merasa tak ada jawaban, ia ketuk lagi pintu dengan suara yg lebih keras.
“Ayah, Ibu. Sarapan sudah siap,” ujarnya lebih keras. Ia mulai bingung saat tidak mendengar apapun dari dalam kamar orangtuanya. Dibukanya dengan perlahan pintu kamar tersebut dan yg pertama kali ia lihat adalah kedua orangtuanya yg telah bermandikan darah di tempat tidur dengan keadaan yang cukup mengenaskan. Dia mulai berlinang airmata. Dengan terhuyung, dia mulai berlari ke lantai 1 untuk menghubungi ambulans dan polisi. Tak lama kemudian, ambulans dan polisi datang.

Rumah Nathael, pukul 10.00.
“Kami turut berduka, Na,” ujar Azzura, menggenggam lembut tangan Nathael.
“Ya, tak apa. Terima kasih,” Nathael tersenyum sendu.
“Oh ya. Bagaimana kalau kita minta batuan detektif untuk mencari siapa pembunuh orangtuamu?” usul Rachel.
“Saran yg bagus Rachel! Ayo, Na,” ujar Azzura agak bersemangat.
“Ya,” jawab Nathael singkat.

Kantor Detektif Seth Lenneous, pukul 11.00.
“Ada yg bisa saya bantu?” tanya detektif Seth.
“Orangtua saya meninggal. Tetapi, terlalu terlihat bahwa itu sebuah pembunuhan,” jawab Nathael, sedikit lemah.
“Hm, baiklah. Derilian, ayo pergi! Ada kasus baru!” teriaknya kepada seseorang.
“Ok, ok,” sahut seorang perempuan dari arah dapur.

Rumah Nathael, pukul 12.00.
“Ini tempatnya,” Nathael membimbing mereka ke tempat terbunuhnya orangtuanya.
“Baiklah, biarkan kami bekerja. Kalian di lantai bawah saja,” sahut detektif Seth.
Setelah mereka pergi, Seth dan Derilian mulai mencari petunjuk untuk memecahkan siapa pelakunya.
“Seth, aku temukan ini,” ujar Derillian, menunjukkan saputangan yg telah dibuang ditempat sampah.
“Hm.. Ada sedikit bekas basah disini. Biar kita bawa dahulu,” ujarnya, memasukan saputangan tersebut ke sebuah kantong plastik.
“Ok,”

Rumah Nathael, Lantai 1 pukul 12.30.
“Kami menemukan 1 barang bukti. Selagi kami menyelidikinya, harap tunggu dengan sabar. Jika hasilnya sudah keluar akan kami beritahu,” ujar detektif Seth.
“Kami juga turut berduka. Semoga kami dapat secepatnya menangkap pembunuhnya,” ujar Derilian.
“Ya. Tolong segera tangkap pembunuh orangtua teman saya,” sahut Rachel.
“Ya, pasti. Baiklah, kami permisi,” ujar detektif Seth, memohon diri bersama Derilian. Rachel dan Azzura mengantarkan sampai pintu depan. Sedangkan Nathael hanya duduk dengan pikiran kosong.

Rumah Azzura, ruang keluarga, pukul 09.00.
“Wah, kasihan juga ya temanmu itu,” sahut Ibu Azzura.
“Iya. Dia tidak ada sanak keluarga yg lain lagi, bu,” jawab Azzura.
“Hm.. berarti dia sekrang ini dirumahnya sendirian?” tanya Ayahnya.
“Iya. Tapi, masih ada beberapa pelayannya kok,” jawab Azzura.
“Yasudah. Sana tidur, sudah malam,” ujar Ibunya.
“Iyaa,” jawabnya, berlalu ke kamarnya sendiri.

Rumah Azzura, pukul 02.00
Sesosok tubuh berusaha untuk memasuki sebuah kamar. Kamar yg berada dihadapannya saat ini terkunci. Akhirnya, setelah beberapa saat pintu itu dapat dibuka. Terlihatlah orangtua Azzura sedang tertidur lelap. Dia mendatangi ayah Azzura terlebih dahulu dan menutup mulutnya menggunakan saputangan yg sudah dia bawa. Setelahnya, dia mengeluarkan pisau yg telah dibawanya dan ditusukkannya kearah jantung. Ia juga melakukan hal yg sama kepada ibu Azzura. Setelah yakin kedua orangtua Azzura telah meninggal, dia mengambil saputangannya dan meninggalkan ruangan tersebut.

16 Juni 1889. Rumah Azzura, pukul 08.00
“Ibu, ayah,” teriak Azzura dari luar kamar orangtuanya sambil sesekali mengetuk pintu.
Merasa tak ada jawaban, dia masuk ke kamar orangtuanya tersebut dan mendapati orangtuanya sudah terbujur kaku dengan berlumur darah. Langsung saja dia pergi ke arah ruang keluarga dan menghubungi ambulans. Mengetahui orangtuanya sudah tidak bisa diselamatkan lagi, dia menghubungi Raachel dan Nathael. Mendengar kabar itu, mereka berdua langsung pergi ke rumah Azzura.
“Aku tidak menyangka ini akan terjadi padamu juga. Aku turut berduka,” ujar Nathael, sesampainya di rumah Azzura.
“Ya, terima kasih,” sahut Azzura lemah.
“Kau sudah lapor polisi? Lebih baik hubungi detektif Seth saja terlebih dahulu,” ujar Rachel.
“Ya,” jawabnya dan mengeluarkan handphone-nya untuk menghubungi detektif Seth.
Tak lama kemudian, detektif Seth dan Derilian datang dan langsung memeriksa tempat kejadiannya dan menemukan sebuah anting yg terjatuh dibawah tempat tidur.  Mereka pamit dan lagsung memeriksa lebih lanjut di kantor detektif mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar